Dalam Kehangatan Mentari – Sang Maya

Dalam Kehangatan Mentari – Sang Maya

Cerpen By : Sang Maya

Dalam Kehangatan Mentari - Sang Maya 3
Design By : Nuri Kamelia
Dalam Kehangatan Mentari – Sang Maya  –  ENYAH!!! Aku tidak mau kesialan lagi pagi ini.” Tiara mengamuk sambil memukul kuntilanak merah dengan tongkat kasti. Pukulannya berhenti ketika mendengar Bintang menangis dari kamar ibunya. Kesempatan itu dimanfaatkan sebaik mungkin oleh kuntilanak merah untuk terbang menghilang ke langit-langit kamar.
 
 “Bintang, sudah jangan nangis. Sini kakak gendong. Mama sama Papa subuh tadi bawa Kak Tari  ke Rumah Sakit.” Ucap Tiara pada Bintang yang akhirnya mulai berhenti menangis.
 
Belum sampai ke kamar mandi Bintang yang sudah berumur tujuh tahun mengompol duluan dalam gendongan sehingga makin membuat Tiara bete.
 
Selesai mandi bersama Tiara mengenakan pampers dan pakaian sekolah pada Bintang, lalu memberi  sarapan kentang rebus sebagai pilihan makanan untuk anak autis.
 
Bintang beberapa kali melepeh makanannya dan meremas kentang rebus itu hingga hancur lalu diratakannya ke lantai, atau dibalurkannya ke wajahnya, atau dilemparkannya ke berbagai arah yang ia sukai termasuk ke arah Tiara. Bintang bertepuk tangan sambil meloncat kecil untuk menunjukkan perasaannya sedang senang.
 
Suara motor berhenti di depan rumah, Papa membuka pintu dan Bintang langsung berupaya lari keluar cepat tetapi ditangkap oleh Papa. Mama masuk ke dalam rumah dengan susah payah karena keberatan menggendong Mentari yang tertidur lemas.
 
“Yuk Papa antar kalian ke sekolah.”
Tiara berusaha menahan tangis sambil memandang jam dinding yang jarum pendekknya menunjukkan angka sembilan, lalu melihat seragam merah putihnya yang sudah belepotan kentang akibat Bintang melemparinya tadi. Bahkan sampai hari kelulusan saja tetap terlambat, ucap Tiara dalam hati.
***
“Uang darimana lagi, Pa? Hutang kita sudah banyak. Mentari sama Bintang masih harus terapi dan konsumsi vitamin. Kalau kita melanjutkan sekolah Tiara tahun ini, bisa-bisa Mentari atau Bintang tidak bisa melakukan pengobatan.” Tutur Mama gelisah.
 
“Apa? Tiara tidak bisa lanjut SMP?”  Tiara baru saja pulang dan tanpa sengaja mendengar percakapan kedua orangtuanya dari balik pintu. Ia membuka pintu rumah, airmata yang ditahan akhirnya tumpah.
 
“Kenapa harus Tiara yang berhenti sekolah? Tiara kan anak Papa dan Mama juga. Apa karena Kak Tari sama Bintang punya kebutuhan khusus jadi harus Tiara terus yang ngalah? Kalau karena itu Tiara juga sama enggak normalnya.” Tiara menghempaskan tasnya ke lantai.
 
 “Papa dan Mama pikir Tiara gak capek lihat hantu terus? Tiara juga ingin berobat, mau operasi, ingin ganti mata.” Emosi Tiara meluap seiringan dengan tangisannya.
 
“Mutiara…buka begitu, Papa sama Mama paham dan ingin Tiara tetap lanjut sekolah. Cuma untuk tahun ini saja. Papa janji Tiara tahun depan pasti bisa masuk SMP ya sayang…” Bujuk Papa sambil memeluk Tiara akan tetapi ditolak oleh Tiara.
 
“Tiara selalu menurut, belajar terus agar selalu ranking pertama, memenangkan banyak lomba bukan hanya agar dapat piala, tapi Tiara juga ingin diperhatikan Mama seperti Mama memperhatikan Kak Tari. Tiara ingin dipuji Papa seperti Papa memuji Bintang saat bisa bilang angka satu dua tiga. Tiara juga ingin dipeluk dan disayang kalian.” Tiara sesenggukan lari ke kamarnya dan membanting pintu disusul dengan teriakan histeris Bintang.
 
Tiara membalikkan badan dari pintu kamar dan terkejut melihat sosok nenek-nenek bertubuh mungil berselang infus di tangannya sedang duduk di kasur dengan raut wajah merasa bersalah. Sesaat Mutiara lupa bahwa dia sekamar dengan kakaknya Mentari.
 
***
 
“Makan dulu, Ra. Dari tadi siang belum makan. Nanti mati loh,” ucap Tari datar.
 
 “Sel otak Kak Tari rusak apa? Ngomong sembarangan.” Suara Mutiara parau karena kebanyakan berteriak di bantal, matanya bengkak akibat menangis, ia hanya tiduran di kasur dengan memunggungi Mentari.
 
“Mungkin, bahkan penglihatan Kak Tari makin rabun,jawab Tari santai.
 
“Kak Tari pernah mimpi buruk?”
 
“Pernah, kenapa?”
 
“Sepertinya Tiara hampir setiap hari mimpi buruk sekalipun sedang tidak tidur.”
 
“Kamu sekamar dengan nenek tua berjiwa ABG, siapa yang gak bakal kena mimpi buruk,” canda Tari.
 
“Hmm begitu…ada benarnya juga.”
 
“Sebenarnya kemampuanmu sebagai anak indigo seperti mukjizat. Kamu bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat kebanyakan orang. Tapi kalau kamu sebegitu bencinya paling tidak Tiara memiliki tubuh yang sehat untuk menghadapi mimpi-mimpi buruk itu.”
 
Mutiara membalik badannya dan melihat Mentari yang berusia 16 tahun makin menua seperti nenek-nenek berusia 80 tahun.
 
“Makan sana. Hidup itu penting. Kamu mungkin menganggap sekelilingmu banyak terjadi mimpi buruk, tetapi pasti ada seseorang yang menganggap dirimu adalah mimpi indahnya.” Mentari berkata lembut dan memandang Tiara dengan tatapan hangat sembari tersenyum.
***
 
“Tiara sudah pulang sekolah?”
 
Tiara hanya mengangguk perlahan dan heran melihat gadis cantik yang baru saja menanyainya sambil menemani Bintang bermain.
 
“Pa…kakak itu siapa? Guru Bintang?” tanya Tiara.
 
Papa melihat Bintang yang sedang tertawa dan asyik bermain sendiri di ruang tamu, lalu menghelas nafas.
 
“Papa lihat Bintang lagi main sendiri saja. Kamu ganti baju dulu sana, habis itu makan siang.”
Tiara masih melihat gadis yang sedang bermain bersama Bintang. Gadis itu menoleh lalu tersenyum ke arah Tiara. “Cantik-cantik hantu…” batin Tiara.
 
“Jangan dekat-dekat adikku, kamu kan sudah mati, sana pulang ke kuburan,” ucap Tiara sinis.
“Waaah…mulutnya jahat sekali. Aku belum dikubur kok.” Balas gadis itu. Tiara makin heran lalu tersentak kaget seakan-akan menyadari sesuatu.
 
“Kak Tari?” Tanya Tiara perlahan sambil mencoba memastikan benar-benar bahwa hantu berparas cantik yang di depannya adalah roh kakaknya.
 
“Maaf ya, Tiara kalau selama ini Kak Tari sudah membuat kamu susah dan terimakasih telah lahir. Sebuah keajaiban bagi Kak Tari bisa memiliki adik manis sepertimu dan Bintang yang bisa diajak bermain.”
 
 “Apa karena Tiara lanjut sekolah Kak Tari meninggal? Maaf…Tiara salah ya…” ucap Tiara terbata-bata dan mulai menangis.
 
Mentari menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju. “Ini semua karena Kak Tari mengidap progeria, bukan salah siapa-siapa.”
 
“Mama sebentar lagi masuk ke kamar, kamu jaga  Bintang ya. Adik kita ini walau autis tetapi sebenarnya dia sangat jenius, hanya kebanyakan orang belum bisa memahaminya. Tiara juga berdamailah dengan kemampuanmu, dan buatlah mimpi-mimpi indah.”
 
Sementara kulihat Kak Mentari pergi menghilang seperti kabut Mama berteriak panik dari dalam kamar memanggil Papa. Mutiara segera memeluk Bintang dan menangis sesenggukan.
 
“Ka..kak…Kakak…” Bintang yang belum terlalu pandai bicara, belum pernah mengucap kakak, tiba-tiba memanggil kakak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *