Bodas Novel Bagian 1 : Jalan Wan Sagaf

Bodas Novel Bagian 1 : Jalan Wan Sagaf

Kadang kita mengingat apa seharusnya kita tidak
ingat, dan tidak ingat apa yang seharusnya kita
ingat…
 
 

     “BOODAAAAAAAAAAS!!!!!!!!”

 
  “Hah?! Alarmku udah bunyi! Aku cabut duluan ya,” konsentrasiku yang sedang bermain gundu, teralihkan oleh teriakan tersebut.
 
      “Yo. Hati-hati. Sana cepat lari,” ucap Yoyok padaku.
 
       “CEPAT PULAAANG! MANDI!”
 
Bodas Novel By Sang Maya Bagian 1 : Jalan Wan sagaf
Bermain guli di sore hari
 
     Perkenalkan, namaku Bodas. Bodas Hisako Vashti. Usia sepuluh tahun, kelas lima SD Khatulistiwa. Diriku memiliki sifat baik hati, jujur, periang dan manis. Sekalipun keaktifanku sering dikatakan sebagai kenakalan, dan rasa sakit hati bisa membuat diriku menjadi pendendam yang tidak manis sama sekali. 
 
      Wanita kurus yang barusan berteriak adalah Kayako1. Eeh…bukan itu ibu Maryam Hanifah. Ibuku sendiri, berusia tiga puluh empat tahun. Sifatnya kurasa sembilan puluh persen adalah kegalakan, sepuluh persen sisanya adalah ketegasan.
 
     Kakek memberi nama Bodas ketika aku lahir. Terkesan seperti nama anak laki-laki, padahal aku anak perempuan.
 
     Apakah sebuah nama menyiratkan jalan hidup tertentu? Apakah nasib kita dibentuk oleh nama, yang diberikan ketika kita lahir? 
 
      Banyak orang tidak percaya pada konsep sebuah nama. Tetapi ada pula yang sangat berhati-hati, dalam memilih nama untuk anak-anak atau keturunan mereka. Seperti yang dilakukan Kakek dan Nenek padaku. Mereka percaya bahwa nama adalah sebuah doa.
 
     Negara Indonesia memiliki beraneka ragam suku, dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Begitu juga aku. Aku termasuk anak dari campuran suku dan negara. Seorang anak tunggal, yang tidak pernah bertemu ayah. Semboyan hidupku Hadza Sayamurru2.
 
     Aku tidak mengetahui suku ayahku, karena ia memang sudah tidak ada sejak aku masih berusia sebelas bulan. Aku tidak mengetahui bagaimana cerita detailnya ia pergi meninggalkan rumah. Meninggalkanku dan Ibu.
 
  Ibuku keturunan Melayu Jepang. Nenekku orang Jepang asli. Kakekku campuran Melayu Sunda. Kakek pernah cerita bahwa Neneknya Kakek adalah orang Malaysia.
 
    Bodas adalah nama ibunya Kakek dari suku Sunda. Bodas dalam bahasa Sunda artinya putih. Kakek bilang waktu aku lahir badanku amat mungil berwarna putih pucat, dan harus masuk ke dalam tabung inkubator karena prematur. Putih diartikan oleh Kakek sebagai lambang kesucian, kepolosan, dan kebaikan hati, seperti warna bunga melati kesukaan Nenek.
 
   Hisako adalah nama yang diberikan Nenek dari bahasa Jepang, dengan arti berumur panjang. Sedangkan Vashti diambil dari bahasa Arab, yang berarti keberuntungan.
 
     Kakek bilang, aku sempat disangka sudah tidak memiliki nyawa, karena detak jantungku tidak dapat terdengar. Tetapi ketika ibu memelukku sambil menangis, akupun menangis, dan dinyatakan hidup. Aku tentu tidak dapat mengingat kejadian tersebut, Kakek bilang itu namanya amnesia infantile3. Hanya lewat cerita Kakek aku mengetahui bahwa Ibu pernah memeluk dan menangis untukku.
 
⃟⃟⃟
 
     Aku dilahirkan di Kota Zamrud Khatulistiwa Indonesia, yang terletak di Asia Tenggara. Ekuator bumi namanya. Di mana ada garis-garis imajinasi yang tergambar di tengah-tengah planet, di antara dua kutub dan paralel terhadap poros rotasi planet.
 
    Kota Khatulistiwa ini membagi bumi menjadi dua bagian. Belahan bumi utara, dan belahan bumi selatan. Matahari dapat berada tepat di atas kepala pada tengah hari dalam equinox4.
 
      Keren ya, jika kita membelah tomat atau semangka maka kita akan membelahnya pada
garis yang dapat membagi dua secara utuh. Begitu juga bumi. Jika ingin membelah bumi, maka garis Ekuator inilah yang bisa dibelah, dan inilah tempat kelahiranku Pontianak.
 
     Pontianak bukan sekadar kota kuntilanak, seperti kebanyakan orang mengejeknya. Kota
Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 Masehi atau 14 Rajab 1185 Hijriyah. Ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar, untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal.
 
       Pada tahun 1778 Masehi, Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami’ dan Istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.
 
       Kerajaan di Borneo Barat, memang kurang suka menulis biografi tentang kerajaan mereka sendiri, atau perjalanan raja mereka. Mungkin saja Sultan khawatir apabila sering dicatat, akan ada fitnah di masa mendatang. Mungkin juga karena mayoritas rakyatnya petani dan pelaut, atau mungkin ada catatan kerajaan, namun dalam aksara Arab Melayu, sehingga tidak semua orang bisa membaca aksara tersebut. Faktor lainnya bisa saja dokumen-dokumen tua Kalimantan Barat dirampas oleh VOC.
 
     Penamaan Kota Pontianak terdapat banyak persepsi. Mitos yang berkeliaran di masyarakat, bahwasannya nama Kota Pontianak berasal dari istilah kuntilanak. Hantu perempuan berambut panjang, yang menjadi salah satu folklor.
 
  Berawal dari kisah perjalanan Syarif Abdurrahman. Ketika berada di daerah delta pertemuan Sungai Kapuas Besar dan Sungai Landak, mereka diganggu oleh suara-suara mengerikan. Karena terus-terusan mendapatkan gangguan siang dan malam, Syarif Abdurrahman memutuskan untuk menembakkan meriam, ke arah sumber gangguan tersebut berasal. Sayangnya perjalanan sejarah ini tidak ada catatan.
 
   Selain folklor mengenai penamaan Pontianak berasal dari kuntilanak. Ada juga folklor Melayu yang menceritakan bahwa penamaan Pontianak berasal dari ayunan anak. Konon, cerita ini beredar ketika Masjid Jami’ dibangun, terdapat banyak ayunan anak, dari para keluarga yang diperkerjakan.
 
        Persepsi penamaan lainnya berasal dari kata “Pohon Punti”. Penyebutan pohon punti terdapat bukti sejarah, yang keberadaanya termaktub pada baris keempat belas, dari surat rakyat Pontianak yang bernama Husain Bin Abdul Rahman Al-Aidrus kepada Sultan Syarief Yusuf Al-Kadrie. Istilah Ponti diartikan sebagai pohon tinggi. Pada zaman itu, Kalimantan sudah dikenal sebagai kepulauan yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi dan besar.
 
⃟⃟⃟
 
      Salah satu jalan di Kota Pontianak, bernama Jalan Wan Sagaf di mana rumahku berada. Bagian depan Jalan Wan Sagaf merupakan kumpulan  rumah orang-orang kaya mayoritas keturunan Arab dan Cina.
 
       Pertengahan Jalan Wan Sagaf merupakan rumah orang-orang yang sederhana suku asli Kalimantan Barat yakni Melayu dan Dayak, dan di belakang jalan tempat tinggal orang-orang yang miskin, kebanyakan mereka pendatang dari luar Kalimantan tetapi sudah hidup turun temurun di Pontianak.
 
        Bagian belakang Jalan Wan Sagaf terdapat warung bakso Mang Urip, langganan keluargaku yang dulunya berada di jalan bagian depan, karena digusur untuk pembangunan restoran, akhirnya warung bakso Mang Urip jadi pindah ke belakang. 
 
    Jalan Wan Sagaf bukanlah jalan raya, tetapi di Jalan Wan Sagaf tempatku tinggal terdapat berbagai fasilitas seperti masjid yang besar, bengkel mobil, kafe, toko kelontong, salon, laundry, katering, butik, gedung olahraga tempat bermain bulu tangkis, taman kanak-kanak, sampai tempat fitnes yang dulunya adalah tempat bilyard.
 
    Bangunan yang didirikan di Jalan Wan Sagaf dan sekitarnya, masih merupakan rancangan peninggalan arsitektur Persia dan Belanda. Atap rumah yang berbentuk segitiga sengaja dibuat untuk menyesuaikan iklim di Kalimantan Barat. Saat cuaca panas dapat menangkal panas, dan apabila cuaca hujan dapat menampung air dari curahan atap rumah yang berbentuk segitiga.
 
         Rumah tropis yang berada di Jalan Wan Sagaf, dan kebanyakan rumah yang berada di Kota Pontianak, memang dirancang karena iklim Indonesia dengan tingkat hujan yang tinggi. Kemiringan atap empat puluh lima derajat berfungsi agar air hujan yang sampai di atap, lebih cepat turun ke tanah, sehingga atap tidak berat saat menampung air hujan.
 
        Konsep arsitektur rumah tropis yang memiliki banyak jendela dan pintu, berfungsi untuk sirkulasi udara saat musim panas. 
 
      Bangunan rumah lebar dan panjang karena menyesuaikan tanah gambut Kalimantan Barat. Kebanyakan rumah tropis juga memiliki halaman yang luas, sekitar sepuluh meter persegi, dan tidak jauh dari keberadaan sungai.
 
        Bodas dan teman-temannya sedang menggambar rumah di teras depan. Tugas dari sekolah untuk menggambar salah satu contoh rumah tropis di Pontianak. Linca menggambar rumahnya sendiri, Yoyok menggambar Rumah Adat Melayu, Sigit menggambar Rumah Radakng, Ponti menggambar rumah Bodas. Sedangkan Bodas menggambar rumah kosong yang berada di seberang rumahnya.
 
     Rumah kosong yang sudah tampak usang, jauh berbeda dengan apa yang Bodas gambar. Gambar Bodas jelas menampakkan rumah antik yang cantik terawat. Pohon kapuk di halaman depan rumah kosong sudah tua dan tidak ada daun lagi. Gambar Bodas, pohon kapuk itu memiliki daun yang lebat.
 
    “Itu siapa yang sedang main ayunan, Bodas?” tanya Ponti, menunjuk gambar anak laki-laki berbaju merah yang dibuat Bodas.
 
     “Anak kecil.”
 
     “Kamu?”
 
      “Bukan.”
 
      “Terus siapa?”
      “Entahlah, yang jelas ecek-eceknye anak ini tinggal di sini.”
 
       “Mana ada ayunan di pohon kapuk.”
 
       “Namanya juga ecek-eceknye.”
 
⃟⃟⃟
 
 
=====================================================================
Catatan Kaki :
1. Hantu di film horror Juon
2. Ini akan berlalu.
3. Seseorang yang sudah dewasa tak akan mampu mengingat kembali peristiwa secara spesifik sebelum usia 2-4 tahun dan juga masa ketika ia sudah menginjak usia 10 tahun

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *