Bodas Novel Bagian 11 : Akting, Film, dan Persahabatan

Bodas Novel Bagian 11 : Akting, Film, dan Persahabatan

 

⧫⧫⧫

      Kami memberitahu Yoyok bahwasannya kita tidak jadi main sepedaan dan memutuskan untuk nonton Casper.

   “Tahu begitu aku ajak juga adik-adikku sekalian boleh? aku jemput mereka dulu ya bentar,” kata Yoyok.
 
       Kami mengajak Oe juga untuk nonton bareng di rumah Linca, sambil menunggu Yoyok
kembali bersama adik-adiknya di dalam rumah Linca, Oe memandang foto keluarga Linca cukup lama.
 
       “Kenapa Oe?” tanya Linca.

       “Entahlah, seperti ada yang tidak asing di foto ini.”

       “Siapa?” tanya Linca lagi.

       “Hmmm…entahlah, mungkin hanya perasaanku saja kali,” jawabnya.

   Foto keluarga Linca terdiri dari lima orang. Ayah dan ibunya Linca. Kak Citra, kakak perempuannya yang masih mahasiswi di Universitas Negeri Pontianak. dan Bang Dodit, abang laki-laki Linca, yang lebih memilih membantu usaha katering ibunya dari pada berkuliah.

 

⧫⧫⧫

       Saat Yoyok datang bersama kedua adiknya, barulah kami memutar film Casper. Hantu putih berkepala botak, yang dibuat dengan animasi komputer membuat kami menonton dengan fokus.
 
        Casper di-dubbing14 dan dimainkan oleh Devon Sawa, Kathleen ‘Kat’ Harvey oleh Christina Ricci, serta Bill Pullman sebagai ayahnya Kathleen. Film ini diangkat berdasarkan komik dan kartun anak-anak Casper The Friendly Ghost pada tahun 1939. Cerita tentang sebuah keluarga, yang sering pindah-pindah rumah karena pekerjaan ayahnya. Sehingga anaknya kerap protes pada sang ayah.

      “Dalam dua tahun aku sudah pindah sebanyak sembilan sekolah, aku telah makan di sembilan cafeteria yang berbeda, dan aku tidak bisa mengingat satu pun nama seseorang.” Dialog yang terjadi saat Kathleen baru saja pindah ke rumah tua.

     Casper dan ketiga pamannya, Stretch si galak, Fatso si gendut, dan Stinky si bau juga tinggaldi rumah tua tersebut, sehingga cerita film lebih menarik. Kat pun akhirnya menjadi teman Casper, sekalipun awalnya takut karena Casper adalah hantu, tetapi karena Casper mempunyai kepribadian yang baik, ramah dan terbilang cukup tampan, ia dapat diterima oleh Kat dan ayahnya.
 
     Aku dan teman-teman menikmati menonton film Casper, sambil memakan cemilan dan minuman yang dihidangkan oleh pembantu Linca. Sesekali kulihat Oe ekspresinya datar saat menonton film, seperti ada yang mengganggu pikirannya.

     “Kalian inget nggak, kejadian aneh waktu kita tertawa di sumur? Rasanya selain kita ada juga yang ikut tertawa,” kata Yoyok, sambil memandang keluar jendela samping rumah Linca, yang juga bertetangga dengan rumah kosong, sehingga rumah tersebut nampak jelas dari jendela samping.
      “Udah deh, Yok. Kan kemarin kita semua sepakat, untuk nggak bahas rumah kosong,” sahut Ponti.

       “Ya penasaran saja, suara tawa tersebut pasti kalian mengakui ada suara, yang tidak kita kenali, bagaimana kalau suara itu memang hantu? Terus dia ingin berteman dengan kita seperti Casper ini?” kata Yoyok.
 
     “Kalau aku sih ogah berkawan sama hantu, sekalipun dia baik atau lucu tetep aja hantu,” ucap Linca dan di iyakan oleh Ponti.
 
      “Tomi gimana?” Yoyok menoleh ke Tomtom.
 
      “Apa?”
 
      “Menurutmu, sumur itu ada hantunya? terus kalau bener ada hantunya gimana?” tanya Yoyok.
 
      “Kalau hantunya sudah pasti ada, angker gitu…tapi kalau bisa jangan sampai ketemu. Sekalipun dia hantu baik kayak Casper, dia tetap hantu. Lagian Casper cuma ada di film doang nggak beneran,” jawab Tomtom dengan dialek Tiongha.
 
       “Kamu gimana, Das?” tanya Yoyok padaku yang asik makan kacang.
       “Kalau aku udah biasa ngadepin yang nyeremin tiap hari. Jadi nggak takut-takut amat sama begituan, selama dia nggak nyelakain kita. Apalagi kalau kayak Casper begini menarik juga kan, siapa tahu itu hantu malah ngasi tau siapa para penjahat yang menculik kakaknya Oe,” paparku keblablasan. Lupa bahwa hal tersebut adalah janji yang diminta Oe untuk dirahasiakan.

        “HAH?!!! Kakak Oe???” sontak semua temantemanku kaget mendengar pernyatanku yang keceplosan. Aku hendak menoleh ke belakang dengan takut-takut mencari di mana posisi Oe duduk.
 
        “Dasar bodoh….mulutmu ini….ternyata longgar banget ya kayak karet,” kata Oe sambil
mencubit kedua pipiku dari belakang.

     “Ampun…ampun…aduuh sakit, sakit!!!” teriakku kesakitan sampai mengeluarkan air mata.

    Oe sebenarnya belum puas menghukumku karena membocorkan rahasia. Tetapi akhirnya ia melepaskan cubitan di pipiku, setelah melihat aku menangis. Pipiku terlihat merah sakit dan berasa kebas akan cubitannya.
 
    “Apa-apan sih kamu Oe, nyakitin anak perempuan gitu, biasa aja kenapa?” Ponti marah. Sedangkan Sigit mendekat dan memeriksa pipiku yang tampak merah.

      Raut wajah Oe mulai berubah tampak menyesal karena membuatku menangis. Ia diam sesaat, bingung mau bilang apa.
 
        “Aku pulang, terima kasih sudah diperbolehkan nonton bersama kalian,” ucap Oe
lalu pergi.

        “Udahan Bodas, orangnya udah pergi tuh,” kata Yoyok. Setelah memastikan Oe keluar gerbang rumah Linca.

       “Soalnya kalau nggak begini, dia pasti akan lama melepaskan cubitannya,” kataku yang habis pura-pura menangis. Aku yang biasa digebuki oleh Ibu tidak mungkin menjadi cengeng hanya karena sebuah cubitan.
 
        “Dasar tukang akting!” Yoyok menjitak kepalaku.
⧫⧫⧫
 
        Malam harinya bukan pipiku yang terasa sakit, tetapi gigiku yang berlubang terasa ngilu sampai membuat kepalaku berdenyut. Saat di rumah Linca tadi sambil menonton aku memang banyak mengunyah keripik, permen, coklat dan kacang.

      Nenek menyuruhku untuk rajin-rajin berkumur dengan air garam untuk mengurangi rasa sakit, dan memintaku untuk menempelkan bawang putih yang sudah ditumbuk ke gigiku yang sakit.
 
    Nenek memang lebih menyukai pengobatan herbal alami, dibandingkan memberiku amoxicillin, asam mefenama, ataupun obat-obat apotik lainnya .
 
   “Makanya sikat gigi malam yang rajin, biar tidak berlubang,” Nenek menasehatiku layaknya iklan pasta gigi di TV. Kemudian ia membelai kepalaku yang kurebahkan di pangkuannya. Belaian dari Nenek yang merawatku sejak saat kecil sangatlah nyaman dan mengurangi rasa sakitku.
 
      “Besok izin tidak masuk sekolah dulu, nanti Ibu antar ke Puskesmas Alianyang. Gigimu harus dicabut,” ucap Ibu ketika masuk ke kamarku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *