Bodas Novel Bagian 7 : Rumah Kosong dan Sumur Tua

Bodas Novel Bagian 7 : Rumah Kosong dan Sumur Tua

Bodas Novel Bagian 7 : Rumah Kosong dan Sumur Tua

 

    Persis depan rumahku, terdapat rumah kosong dua tingkat, yang terlihat antik bekas peninggalan jaman Belanda, dengan pohon kapuk tinggi besar di halaman depan. Banyak orang yang bercerita bahwa pohon kapuk tersebut merupakan sarang kuntilanak dan genderuwo. Ada juga yang bilang pohon ini pernah digunakan oleh penjajah Jepang untuk menggantung orang. 

Bodas Novel Bagian 7 : Rumah Kosong dan Sumur Tua
Bodas Novel Bagian 7 : Rumah Kosong dan Sumur Tua

 

 
        Batang pohon kapuk berwarna putih, seputih susu, ranting-ranting tuanya seperti jari-jari seram yang kurus dan panjang, di film hantu-hantu barat yang pernah kutonton. Getah pohon kapuk berwarna merah kental. 
 
       Apabila dilihat dari jauh pohon tersebut seperti berdarah. Jika ada angin berhembus kencang menggoyangkan ranting-ranting pohon kapuk itu, nampak seperti monster kayu menyeramkan, yang ingin mencengkram siapa saja yang melintas di Jalan Wan Sagaf.
 
   Rumah kosong ini terkenal banyak hantunya. Bahkan rumah itu dianggap tempat tongkrongan setan yang membuatku tertawa geli saat mengetahuinya, ternyata tidak hanya orang dewasa saja yang suka nongkrong, setan juga butuh tempat nongkrong.
 
     Cerita–cerita warga sekitar tentang rumah kosong, ada beragam yang mengaku pernah melihat pocong, genderuwo, lukisan di dalam rumah yang tertawa menyeringai, anak kecil berwajah bolong yang mengajak bermain, makhluk-makhluk aneh dengan mata merah menyala. Sampai wanita Belanda berparas cantik berambut pirang bergelombang, yang mengenakan baju putih ala putri bangsawan. Entah kenapa tidak seorang pun dari keluargaku, yang tinggal di depan rumah kosong itu, tidak pernah melihat sosok aneh di rumah tersebut.
 
⧫⧫⧫
 
    Beberapa kali aku dan teman-teman sepermainan Ponti, Linca, Sigit, Yoyok dan Tomtom masuk ke halaman rumah tersebut. Awalnya tidak pernah, dan tidak ada yang berani melewati pagar rumah kosong yang tidak terkunci.
 
     Suatu hari kami terpaksa masuk, karena hanya ingin memungut bola kasti kami yang jatuh di halaman belakang rumah kosong. Aku dan teman-teman akhirnya masuk dan mencari bola kasti di antara rumput yang tingginya sebetis. 
 
     Setelah bola kasti ditemukan, halaman belakang rumah kosong ternyata sangat luas seperti lapangan bermain kami, dan juga banyak tanaman buah di sana seperti jambu air, jambu biji, belimbing, mangga dan pepaya, akhirnya permainan bola kasti berubah menjadi ngerujak bareng-bareng dari buah hasil curian.
   Kami berenam mengambil buah hanya sebisa kami dan secepatnya. Halaman belakang rumah kosong ini memang seram, siang-siang saja hawanya terasa dingin seperti melewati kuburan di belakang sekolah seluas dua hektar. 
 
    Kami membagi tugas mengambil buah yang ada, dan apabila sudah selesai harus langsung membantu yang lain. Aku dan Linca ditugaskan mengambil jambu biji yang pohonnya berada di dekat sumur. 
 
     Semakin mendekati sumur tersebut aku dan Linca merasa merinding seolah-olah ada yang mengamati kami. 
 
     “Jambu bijinya nggak usah aja ya, nanti setan di sumurnya keluar,” saran Linca memegang
lenganku.
 
       “Mana ada setan muncul siang-siang,” bantah Sigit yang datang dari belakang kami, dia sudah selesai mengambil pepaya.
 
   Setankan muncul kapanpun dia mau. Sengaja tidak kuucapkan. Aku takut menambah ketakutan Linca yang sejak masuk halaman rumah kosong ini terus merapat di dekatku. Repot kalau Linca sampai pingsan karena ketakutan. Bentuk tubuhnya mirip gentong air akibat tumpukan lemak yang disimpan di bawah kulitnya.
 
      Sesampai di pohon jambu biji kami siap menangkap jambu biji yang dilempar Sigit dan Tomtom yang sudah memanjat pohon tersebut. Aku juga ingin memanjat, tetapi Linca menarik lenganku dan menggelengkan kepala supaya aku menemaninya saja.
 
   Selesai mendapat sepuluh jambu biji untuk kami berenam, semua berkumpul mengelilingi sumur dan melongok ke dalam sumur.
 
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA……..” Sigit mendadak berteriak kencang di dalam sumur. Suaranya bergema memantul di dinding sumur.
 
      Aku dan yang lain ikutan berteriak, lalu kami semua tertawa. Tanpa sadar, jumlah kami sudah menjadi tujuh orang. Mendengar sebuah tawa yang janggal kami memutuskan untuk diam dan melihat di sekeliling, tawa itu masih menggema cukup lama di dalam sumur.
    “Udahan yuk, kita merujak di rumah Linca aja ya?” Aku memberi saran dan diiyakan oleh semuanya, kami berjalan cepat menjauhi sumur yang masih saja memantulkan suara tawa anak kecil.
 
   Malam harinya setelah mengerjakan PR, dan hendak beranjak tidur aku seperti mendengar suara kaca pecah dan teriakan dari rumah kosong. Kuintip jendela kamar yang menghadap ke rumah kosong, semuanya tampak gelap dan tidak ada kejadian apa-apa atau suara teriakan lagi.
 
⧫⧫⧫
 
    Dingin terasa di sekujur tubuhku, kabut tebal menjelang pagi membuat pemandangan tidak terlalu jelas, aku berada di tengah-tengah halaman belakang rumah kosong. Ada seseorang yang menggunakan mantel hijau tua tebal bertudung kepala berjalan di depanku dan menuju sumur tua. 
 
    Wajah orang tersebut tidak terlihat olehku. Sesampainya ia di pinggir sumur ia membuang sesuatu ke dalamnya. Aku menyaksikan dengan keheranan apa yang dilakukan orang itu di pagi buta begini? Apa yang ia buang? Sampah? Dan lebih herannya lagi kenapa aku bisa berada di sini menggunakan baju tidur dan memakai sandal?
 
    Orang itu berdiri agak lama di dekat sumur memandangiku, wajahnya masih tidak terlihat karena tudung dari mantelnya. Perasaan takut yang bercampur keheranan membuatku pelan-pelan mundur berniat lari secepat mungkin keluar dari halaman dan kembali ke rumahku yang berada di seberang jalan.
 
    Jantungku berdegup kencang tidak berarturan ketika orang tersebut berlari ke arahku, aku pun ikut berlari menghindarinya. Sayangnya saat berlari kakiku menginjak pecahan kaca.
 
     Aku menangis kesakitan sambil merayap di tanah keluar pagar halaman rumah kosong. Orang bermantel hijau sudah berada di sampingku, langkahnya memelan mengikuti tubuhku yang merayap berjuang menghindarinya. Tangannya mulai menutup mulutku agar tak mengeluarkan suara tangisan.
       Dia menutup mulutku dengan kuat sampai aku kesusahan bernafas, ia mengangkatku dari tanah lalu membawaku menuju sumur tua, aku meronta-ronta ketakutan tetapi cengkramannya yang kuat membuatku tak bisa lepas darinya.
 
      Perasaan ngeri membuat tubuhku membeku ketika ia membawaku ke pinggir sumur. Dia mencampakkan aku ke dalam sumur itu. Tanganku berusaha menggapai-gapai apapun agar aku tidak terjatuh ke dalam air sumur yang dalam, tetapi tidak ada apa-apa yang bisa aku gapai selain udara. 
 
    Aku terhempas masuk ke dalam air dan tenggelam. Aku beranjak terbangun dari mimpi menyeramkan, aku merasakan air mataku mengalir hangat di pipi, tubuhku basah kuyup akibat keringatan, nafasku terengah-engah, seperti mimpi tersebut benar-benar terjadi.
 
      Aku mulai merasa lega saat melihat kedua kakiku baik-baik saja. Kakiku memang dingin karena selimutku jatuh dari tempat tidur. Detak jantungku kembali normal, kuraih selimut yang jatuh. Aku berteriak kaget melihat ibu sudah berdiri di samping tempat tidur. Wajahnya masam melihat reaksiku seperti habis bertemu setan.
 
   “Sebelum tidur itu cuci tangan, dan kaki lalu baca doa, biar nggak diganggu setan!” Ibu mengingatkanku dengan intonasi yang tinggi, lalu  berpaling keluar dari kamarku.
 
   Jadi…orang bermantel hijau tua dengan tudung kepala itu setan? pikirku dalam hati, aku komat kamit membaca doa yang panjang lalu kembali tidur tanpa mematikan lampu.
 
⧫⧫⧫
 
     Besok harinya menjelang sore, ketika ingin memanen buah jarahan di rumah kosong, kami sepakat untuk tidak lagi mengambil jambu biji di dekat sumur mengingat kejadian aneh kemarin, apalagi ditambah mimpi burukku.

   Tiba di halaman belakang rumah kosong, kami melihat pintu belakang rumah tersebut terbuka, padahal kami sangat yakin, kemarin pintu belakang rumah masih tertutup rapat, tidak bisa dibuka karena terkunci. Yoyok melongok ke dalam, lalu kembali melihat kami berlima yang diam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *