Bodas Novel Bagian 9 : Keajaiban Itu Selalu Ada

Bodas Novel Bagian 9 : Keajaiban Itu Selalu Ada

Bodas Novel Bagian 9 : Keajaiban Itu Selalu Ada

 
Aku bukanlah orang yang hebat, tapi aku
mau belajar dari orang yang hebat.
Aku adalah orang yang biasa, tapi aku mau
menjadi orang yang luar biasa.
Dan aku bukanlah orang yang istimewa,
tetapi aku ingin membuat seseorang menjadi
istimewa…
 
    Hari berganti, dan warga mulai berhenti membicarakan kejadian heboh di rumah kosong, semenjak ditemukan korban penculikan. Bahkan aku sendiri enggan menoleh, ke rumah kosong tersebut, yang ternyata berisi setan mantel hijau. Aku dan teman-teman tetap bermain bersama setiap sore, tetapi tidak lagi memasuki pagar halaman rumah kosong.

     Pohon kapuk di depan rumah kosong baru saja tumbang, akibat angin kencang dan hujan deras kemarin. Pontianak sedang musim hujan, dari subuh sampai siang, hujan turun terus, membuat halaman depan rumah Kakek sering banjir, sampai di atas mata kaki. Ikan gabus dan belut kesenangan bisa keluar dari kolam dan jalan-jalan di sekitar halaman yang tergenang banjir.

  Siang hari pulang sekolah setelah hujan reda, langit masih terlihat mendung. Dibandingkan makan nasi, aku sangat ingin makan buah jambu air, yang ada di halaman depan untuk makan siangku.

     Jambunya sudah besar-besar dan berwarna merah menggiurkan. Aku masih memakai rok  eragam pramuka, ketika mulai memanjat pohon. Ini pertama kalinya aku memanjat pohon dengan menggunakan rok, karena malas menganti dengan celana biasa. Pikirku, tidak akan ada orang lewat sehabis hujan. 

     Suasana begini pasti membuat kebanyakan orang memilih tidur siang di rumah, jadi tidak bakal ada yang melihat dari bawah pohon, celana dalam yang kugunakan di balik rok seragam pramuka.

    Tanaman sehabis hujan mengeluarkan aroma tersendiri. Wangi jambu lebih pekat dari bawah pohon. Batang pohon ini masih licin akibat hujan, lumut-lumut yang numpang hidup di pohon membuatnya makin licin hingga aku kesusahan memanjatinya.

   Tanganku bergelantungan ke dahan pohon, yang berada di atas kepala untuk menjaga keseimbangan apabila kakiku terpeleset, sambil tangan lainnya mencoba untuk menggapai buah jambu air, yang ranum berwarna merah menggiurkan.

      Kakiku terpeleset karena batang pohon begitu licin akibat habis hujan, fiuuuh….nyaris saja aku jatuh. Untung satu tanganku memegang dahan pohon, keahlian memanjatku dapat dibilang seperti monyet.

  Tanganku mencoba menggapai dahan agar peganganku menjadi kuat, sambil berusaha memijakkan kaki lagi di batang pohon yang licin ini.

     KRAAK!!!! Dahan pohon ini patah. Jantungku berdetak seperti menonjok-nonjok dadaku  kuat akibat rasa kaget, bercampur ketakutan yang luar biasa, pada posisi terjun bebas akibat hukum gravitasi bumi. 

     Aku yakin wajahku saat ini, pasti pucat pasi, mataku membelalak memandang daun-daun pohon jambu dan buahnya yang mulai menjauh dariku.

  ZRRRATTT!!!!….Glek….Aku menelan ludah ketika jantungku mulai mengurangi debarannya yang kuat. Kulihat kanan dan kiri posisiku berdiri vertikal. Kulihat ke bawah kakiku tidak menyentuh tanah…
 
    ZRAAATTT…bunyi robekan rokku yang menyangkut di pagar makin membesar, tetapi tidak sampai membuatku jatuh. Kucoba meronta-ronta agar rokku makin sobek, supaya aku dapat jatuh ke tanah, yang hanya sekitar dua puluh sampai tiga puluh centi. 

    Usahaku gagal, aku hanya bisa menahan rok bagian depan tidak terangkat, sehingga celana dalamku tidak dapat kelihatan. Di rumah saat ini hanya ada Nenek, itupun sedang tidur siang. Berteriak minta tolong memanggilnya pasti percuma.

⧫⧫⧫

     Lima belas menit sudah aku bergantungan di pagar, membuat air mataku mulai jatuh. Entah kenapa jalanan terasa sepi, dan belum ada orang yang lewat. Faktor habis hujan, memang bisa membuat orang malas untuk keluar rumah. Aaaah…coba saja aku tadi menuruti nasehat Nenek untuk tidur siang saja, mungkin tidak adakejadian seperti ini.
 
  Seorang cina paruh baya yang sedang mengayuh sepedanya, melihatku dengan keheranan dan melewatiku begitu saja, aku hanya menangis saat itu sebagai bahasa pengganti minta tolong.Tak lama kemudian sebuah mobil sedan hitam datang dan lagi-lagi melewatiku begitu saja, Aku menangis.

     Sedan hitam itu berjalan mundur perlahan dan menepi dari jalan, seorang om–om mirip artis sinetron Atalarik Syah keluar sambil merokok. Dia tersenyum memandangiku yang bercucuran air mata dan ingus.

    “Gambar bagus nih,” canda om wajah ganteng tersebut, sambil mengambil kameranya di dalam mobil, lalu mengambil fotoku tanpa permisi, dalam kondisi memalukan seperti ini. Sialan! umpat hatiku kesal.

 “Cepat turunkan dia!” seorang anak laki-laki yang sepertinya seumuran denganku, memerintahkan om ganteng yang asyik menggambil fotoku.

    Pandangan anak laki-laki itu dingin dengan wajah tetap menghadap depan dari balik kaca mobil hitam yang telah ia turunkan, dia sama sekali tidak melihatku.

  “Anak perempuan itu, enggak boleh manjat-manjat pohon seperti ini, apalagi menggunakan rok pula,” kata si Om.

     Mungkin ia seorang supir dari anak laki-laki yang berada di dalam mobil dan berlagak seperti bangsawan. Setelah si Om menurunkanku dari pagar, mulutku kaku untuk menyampaikan terima kasih, ucapan itu hanya aku ungkapkan dalam hati, aku tertunduk malu.

   “Kau bodoh ya?” Ejek anak laki-laki tersebut padaku, kulirik dia ternyata sedang memandangku hina seperti aku ini gembel, yang habis ketahuan mencuri roti.

     “Aku Bodas…bukan bodoh….” Gumamku masih menunduk malu. Dia pun menaikkan kaca jendela mobil hitamnya, kemudian sedan tersebut akhirnya pergi.
 
⧫⧫⧫

    Nenek tertawa mendengar ceritaku, tentang bagaimana rok pramukaku yang sedang dijahitnya robek parah. Nenek sangat terampil menjahit dengan tangan, sehingga rok yang robek itu menjadi rapi kembali. Sedangkan Kakek, mengelus dada mendengar ceritaku jatuh dari pohon.

    “Kalau mau ambil buah, cukup pakai galah saja, jangan manjat-manjat,” Kakek memberi nasihat sambil mengacak-ngacak rambutku.

     “Kalau bertemu lagi dengan orang tersebut, sampaikan maafmu dengan benar,” perintah Kakek.

    Aku tidak berani menceritakan kejadian jatuh dari pohon kepada ibuku, karena takut malah dimarahi. Cukup Kakek dan Nenek saja yang tahu. Bunyi motor Ibu tiba di halaman samping, aku cepat-cepat masuk ke kamar untuk menyembunyikan rok pramuka yang habis dijahit Nenek.

⧫⧫⧫

  Senin pagi di sekolah sehabis upacara bendera, pak guru Iwan wali kelasku memperkenalkan seorang murid baru. Aku membelalakkan mata, murid baru itu adalah anak laki-laki sombong yang berada dalam mobil hitam, ketika supirnya menolongku lepas dari pagar, tiga hari lalu.

       “Semuanya, hari ini kita ada murid baru, namamu siapa, Nak?” tanya Pak Iwan.

        “Perkenalkan, nama saya Oe Pratama,” jawabnya.

        Tawa seisi kelas meledak termasuk aku saat mendengar namanya disebutkan, bahkan
beberapa anak, ada yang bersuara meniru tangis bayi Oek….Oek….Oek….meledek murid baru itu.

   Oe ternyata melihatku yang tertawa terpingkal-pingkal. Tawaku memelan ketika tangannya mengeluarkan sedikit sebuah foto dari saku bajunya. Perasaanku seperti terancam, jangan-jangan itu adalah fotoku saat tergantung di pagar.

         Pak guru Iwan juga terlihat menahan tawa, lalu mengintruksikan murid-muridnya untuk tenang.

       “Oe asalnya dari mana?” tanya pak Iwan lagi.

        “Sintang,” jawab Oe singkat.

      “Baiklah Oe selamat datang di Sekolah Dasar Khatulistiwa Pontianak. Semoga betah dan banyak teman di sini, silakan duduk di bangku kosong yang berada di belakang sana,” kata pak Iwan.

    Oe berjalan ke bangku tersebut, dia berhenti sesaat di samping mejaku dan menyerahkan selembar foto dengan gambar terbalik. Aku menyambar foto itu cepat kumasukkan ke dalam tas. Kulihat dia tersenyum penuh kemenangan.
 
        Pelajaran dimulai seperti biasanya, kuintip sedikit foto yang berada dalam tasku. Foto itu adalah hasil jepretan om ganteng yang menolongku, ternyata foto yang kukhawatirkan sesaat, adalah foto monyet sedang bergantungan di pohon dengan sebelah tangannya yang sedang memakan buah.

  Assseem…dia berhasil mengerjaiku. Aku menoleh ke belakang melihat di mana bangkunya berada, ia menurunkan pipi dengan kedua tangannya lalu membeleletkan lidah padaku. Aku rasa, dia belum pernah sama sekali kena timpuk pakai bangku sekolah.

⧫⧫⧫

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *