Bodas Novel Bagian 9 : Keajaiban Itu Selalu Ada

Bodas Novel Bagian 9 : Keajaiban Itu Selalu Ada

Bodas Novel Bagian 9 : Keajaiban Itu Selalu Ada


     Waktu istirahat sekolah kulihat si Oe dikerumuni beberapa teman-teman kelas yang ingin lebih berkenalan dengannya, terutama anak-anak perempuan, termasuk Linca dan Ponti yang terlihat bahagia, dengan keberadaan murid baru mirip artis bintang cilik.

Bodas Novel Bagian 9 : Keajaiban Itu Selalu Ada
Bodas Novel Bagian 9 : Keajaiban Itu Selalu Ada



    Oe terlihat ramah berkenalan dengan teman-teman sekelas, sangat berbeda dengan apa yang kuketahui saat pertama bertemu dengannya. Ia melihatku kemudian tersenyum ramah, aku menanggapi senyuman palsu itu dengan perasaan malas.

  Aku hendak keluar kelas bersama Yoyok dan Tomtom ke kantin sekolah, menghiraukan kerumunan di bangku belakang. Oe berjalan mendekatiku yang hampir keluar pintu kelas, tangannya menggapai tanganku.

     “Temani aku sebentar keliling sekolah ya?” menurutku ini pemaksaan, karena langsung menarik tanganku begitu saja keluar dari pintu kelas.

    Anak-anak di kelas bengong melihatku yang bingung, beberapa murid laki-laki yang bersuit…suit….Aku menghentakkan tanganku agar lepas dari tangan Oe, “Apa-apaan sih kamu!”

     “Kamu anak yang pertama kali menemukan perempuan di rumah kosong?” tanya Oe dengan wajah serius. Aku cukup heran kenapa ia menyakan itu.

       “Kalau memang iya kenapa?” Aku bertanya balik.

      “Perempuan itu kakakku, keluarga kami sampai pindah ke kota ini karena RSJ hanya ada di Kota Pontianak, belum lagi keluargaku masih mencari pelaku. Petunjuk apapun sampai saat ini belum diketahui polisi,” ungkap Oe. Terlihat di wajahnya kesedihan mendalam akibat tragedi yang menimpa kakaknya.
       “Bagaimana keadaan kakakmu sekarang?” tanyaku pada Oe.

       “Kak Nina sempat di rawat di RSJ selama sebulan, karena mengamuk di RS Sudarso, jiwanya memang labil tetapi kondisinya sekarang sudah tenang, ia dirawat di rumah. Seminggu sekali dokter dan psikiater dari RSJ Alianyang datang untuk mengecek keadaan Kak Nina,” papar Oe.

        “Pulang sekolah saja aku ceritakan semuanya,” Ia langsung mengangguk.

     “Tolong dirahasiakan dari siapapun…dan ini punyamu,” Oe memberikan setumpuk fotoku yang tergantung memalukan di pagar rumah, foto-foto ini hasil jepretan om ganteng.

         “Tidak ada lagi yang tersisa dari foto ini kan?” tanyaku pada Oe.

        “Aku tidak tahu di mana ayahku menyimpan negatif foto tersebut, terlalu banyak untuk kuperiksa di ruang cuci cetak foto.”

          Bel waktu istirahat berakhir, Oe berjalan duluan ke kelas meninggalkanku. Sebelum aku menyusulnya masuk ke kelas, foto-foto pemberiannya kusobek kecil-kecil lalu kubuang ke tempat sampah.

⧫⧫⧫

     Aku diajak makan siang bersama Oe dan ayahnya di sebuah restoran, ini pertama kalinya aku masuk dan makan di restoran. Keluargaku tidak pernah makan-makan di restoran, biasanya kami makan di warung bakso Mang Urip, atau paling mewah di warung nasi padang murah meriah.

      Sehabis makan ayam panggang yang begitu enak, aku menyantap semangkuk besar es krim coklat berbentuk gunung, dengan toping coklat, bertaburan kacang dan potongan buah strawberry. Es krim coklat seperti ini juga pertama kalinya aku makan, satu suapan sendok es krim, yang masuk ke mulutku membuat perasaan begitu bahagia.

     “Eeennnaak!!!…” ungkapku dengan suara yang lumayan keras, sehingga bisa terdengar oleh banyak orang di restoran.tersebut.

   Ayah Oe tertawa kecil melihatku, sedangkan Oe menatapku bete dengan sikapku, yang kesenangan bisa makan enak dan mencicipi es krim coklat super lembut. Sangat jauh berbeda dengan es krim potong mamang yang biasa lewat depan rumah.

     “Jadi, sudah bisa kamu ceritakan kejadian waktu kamu menemukan kakakku?” tanya Oe dan aku mengangguk.

      Tidak banyak yang bisa kuceritakan, tetapi segala yang aku ketahui kusampaikan ke Oe dan ayahnya. Bagaimana aku dan teman-teman masuk ke dalam rumah kosong, bagaimana kakaknya turun, kemudian ditolong oleh karyawan Tante Banun, dan berakhir ketika polisi beserta ambulan datang, semua disimak baik-baik oleh mereka.

     “Apa itu saja yang bisa kamu ceritakan?” tanya Oe.

    Wajahku mulai tertunduk, lagi-lagi perasaan bersalah menyergap bahwa aku sempat mendengar sebuah teriakan di malam hari dari rumah kosong tersebut, dan bunyi pecahan kaca. Hal yang tidak kuceritakan pada siapapun akhirnya kuceritakan pada Oe dan ayahnya, termasuk mimpi burukku dan sosok bermantel hijau yang kulihat di balik jendela kaca lantai dua menjelang maghrib.

      Selesai menceritakan apa yang aku ketahui tentang kejadian rumah kosong, Om Radit, ayahnya Oe mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan kami semua lebih banyak diam di dalam mobil. 

       Sampai di rumah, Nenek sudah menungguku di beranda. “Kok pulangnya terlambat? Ibumu tadi pulang ke rumah dan menyakan kamu berada, disusul ke sekolah kamu tidak ada,” papar Nenek.

    Om Radit meminta maaf kepada Nenek telah mengajakku makan siang tanpa izin. Aku mengenalkan Om Radit dan Oe pada Nenek dan memberitahukan bahwa merekalah yang pernah menolongku saat aku menyangkut di pagar.

     Setelah Om Radit dan Oe memberikan bingkisan makanan yang dipesan oleh mereka dari restoran, mereka hendak pamit pulang pada Nenek dan Kakek.
 
   “Om, makasi ya untuk makan siangnya, juga terimakasih sudah menolong Bodas kemarin nyangkut di pagar,” aku membungkukan badan saat mengucapkannya ke Om Radit.

      “Oooo….itu sebenarnya si Oe, Om malah nggak sadar kamu itu sedang nyangkut di pagar, makanya si Oe nyuruh balik mundur untuk memastikan,” kata Om Radit.

        Aku melirik Oe yang berdiri di belakang Om Radit, ekpresinya datar-datar saja.

   “Makasi ya Oe….” ucapku perlahan malu, sedangkan Oe hanya diam saja mendengarnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *